TUGU SIMPANG EMPAT BANJARBARU


Oleh: HE. Benyamine

Tugu Simpang Empat (TSE) Banjarbaru saat masih berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Banjar, dibangun berdasarkan rancangan yang sesuai dengan fungsi suatu bundaran sebagai titik temu bebarapa jalur jalan, dengan lambang intan sebagai suatu kebanggaan daerah ini.

Tugu Simpang Empat Banjarbaru Yang Dibongkar
Tugu Simpang Empat Banjarbaru Yang Dibongkar

Perubahan terjadi saat Pemko Banjarbaru, sebagai kotamadya tersendiri, mengambil keputusan untuk membongkarnya dan menggantinya dengan rancangan dalam bentuk bangunan penuh, yang menghalangi sudut pandang dari masing-masing jurusan. Rancangan ini menghilangkan fungsi bundaran untuk lebih dari 4 jalur, yang lebih mengarah pada bundaran yang berada di taman. Biaya yang dialokasikan untuk proyek pembangunan dengan rancangan ini sangat besar, yang tidak sesuai dengan kepentingannya bagi suatu bundaran jalan.


Tugu Simpang Empat Banjarbaru Rancangan Pemko Banjarbaru
Tugu Simpang Empat Banjarbaru Rancangan Pemko Banjarbaru

Proyek pembangunan tugu simpang empat saat ini lebih memperlihatkan ambisi yang tidak ditunjang dengan kebijaksanaan elit kekuasaan yang ada di Banjarbaru. Proyek ini menggambarkan sikap dari pemegang kekuasaan yang lebih mengandalkan ego dan keinginan untuk diakui, yang tidak melihat kepentingan dan fungsi serta urgensinya dari pembangunan tersebut, seakan kemampuan membangun tugu yang megah sebagai suatu prestasi masa pemerintahannya. Proyek yang mubazir dan mengalahkan kepentingan lain yang lebih bersinggungan dengan kebutuhan publik. Proyek ini juga menegaskan bahwa elit kekuasaan di Banjarbaru, tidak mempu menentukan suatu skala prioritas dalam pembangunan yang lebih memenangkan aspirasi sebagian besar masyarakat.

Proyek TSE  yang dibanggakan Pemko Banjarbaru dapat diibaratkan sebagai prinsip mengganti kelapangan dengan kesempitan. Karena tugu yang dulu memilih landscape kelapangan sebagaiman juga dengan bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta, sedangkan proyek pembangunan yang sekarang memilih landscape kesempitan. Apa yang bisa diharapkan dari elit kekuasaan yang lebih memilih prinsip kesempitan daripada kelapangan.  Jelas pemborosan anggaran belanja pembangunan, dan menggerogoti kesempatan masyarakat banyak dalam hal tersedianya dana pembangunan yang sesuai dengan aspirasi  dan kepentingan publik.

Bundaran HI (foto: okezone) Pilihan Kelapangan
Bundaran HI (foto: okezone) Pilihan Kelapangan

Bundaran Besar Palangka Raya (foto: www.novantri.blogspot.com) Pilihan Kelapangan Bukan Membangun Bangunan di Tengah Budaran.
Bundaran Besar Palangka Raya (foto: http://www.novantri.blogspot.com) Pilihan Kelapangan Bukan Membangun Bangunan di Tengah Budaran.

Anggaran yang dialokasikan untuk melanjutkan pembangunan TSE yang mangkrak hingga saat ini masih sekitar Rp. 3 milyar, dan tidak menutup kemungkinan terus bertambah, karena alasan kenaikan harga bahan bangunan. Seandainya Pemko Banjarbaru berpikir dengan prinsip kelapangan, yang berarti tidak merubah rancangan aslinya, dan hanya melakukan pemugaran dan penantaan untuk memperindah bundaran tersebut, maka berapa anggaran yang dapat  dialokasikan untuk membiayai pembangunan lainnya.

Dengan dana yang sudah digunakan untuk membiayai proyek TSE ditambah dengan alokasi biaya untuk melanjutkannya, tentu dapat dibayangkan beberapa pilihan proyek pembangunan yang lebih berprinsip kelapangan, seperti membangun hutan kota atau membeli buku untuk menambah koleksi buku Perpustakaan Kota Banjarbaru, yang mana pilihan tersebut lebih dibutuhkan dan bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat.

Apalagi Banjarbaru dikenal sebagai kota pendidikan, yang tentunya sangat berkepentingan dengan keberadaan perpustakaan yang representatif dan modern, saat ini gedung baru dan cukup megah, dengan terus menambah dan memperbanyak koleksi buku. Begitu juga dengan kebutuhan hutan kota atau ruang terbuka hijau, yang lebih memberikan suasana kondusif dalam menunjang predikat kota pendidikan.

Atau, anggaran tersebut dialokasikan untuk membangun sistem pengelolaan sampah secara terpadu, karena masalah sampah sudah menjadi bagian dari kehidupan kota yang mengalami perkembangan dan pertumbuhan, yang juga dialami kota Banjarbaru.

Proyek TSE sangat kental dengan ketiadaan kemauan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Pemko Banjarbaru terkesan hanya ingin dilihat hasil kerjanya yang megah dan wah, jadi lebih memilih pembangunan TSE yang nantinya terus dapat dilihat oleh siapa saja yang lewat, meskipun tidak bersinggungan langsung dengan kepentingan publik. Pembangunan TSE tersebut tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan yang menguras pikiran dan tenaga elit kekuasaan, malah dapat dikatakan hanya cari gampangnya agar anggaran dapat tersalurkan atas nama “pembangunan”.

Jadi, proyek TSE yang pembangunannya bermasalah, lebih mengesankan cara berpikir dan bertindak kesempitan elit kekuasaan Banjarbaru dan ditegaskan dengan pilihan rancangan TSE yang  kesempitan. Kebijakan Pemko Banjarbaru dalam penggunaan dana pembangunan, khususnya untuk proyek TSE, memberikan gambaran sikap dan tindakan kekanak-kanakan, karena masih lebih berkesan ingin pamer dan dianggap telah melakukan suatu usaha pembangunan, meskipun harus memboroskan anggaran pembangunan.

Sebelum semuanya jadi bubur, proyek TSE yang lagi mangkrak tersebut, perlu dipertimbangkan kembali untuk dilanjutkan pembangunannya. Konsep bundaran dan kelapangan harus menjadi rujukan dalam pembangunannya, tidaklah terlambat untuk mengembalikan pada konsep TSE yang dulu. Terlebih, konsep TSE sebagaimana masih bagian Kabupaten Banjar, mempunyai nilai sejarah yang tidak selayaknya diabaikan dan dihilangkan.

Published by HE. Benyamine

Langit yang sama, bumi yang sama, meskipun berada di sisi kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

3 thoughts on “TUGU SIMPANG EMPAT BANJARBARU

  1. PERTAMAX !!!

    Wah kok seperti itu ya pemerintah…. akankah lebih baik jika pembangunan itu lebih memperhatikan banyak aspek, jangan hanya kepentingan-kepentingan semata

  2. membaca tulisan-tulisan mengenai kota banjarbaru, saya merasa seperti sudah pernah berkunjung. haha!

    betul sekali rasanya, mas, soal prestasi yang musti dicatatkan hanya dengan pembangunan sebuah prasasti. rasanya dangkal sekali pemikiran demikian, bila tak ditunjang dengan AMDAL dan pertimbangan lain yang memadai.

    di kota medan juga ada sebuah gedung mewah yang tadinya dialokasikan sebagai kantor gubernur sumut (mohon koreksi bila keliru), yang hingga saat ini, belasan tahun sesudahnya, tidak pernah dipergunakan. padahal dulu sang gubsu membangunnya dengan dana luar biasa hanya untuk lambang eksistensi. sekarang halaman gedung malah ditanami sayur oleh penduduk, dan di sekitarnya ditutupi pedagang loak. ironis.

  3. Bundaran Di Minggu Pagi
    Bundaran banjarbaru udah jadi,..bagus banget. Sayangnya hari minggu pagi tidak seramai dulu. Sering kulihat ada ANJAL (Anak Jalanan/ Punk) yang tidur di bawah tugu dan bangun kesiangan … Kamtib Banjarbaru selatan sepertinya belum maksimal… gimana pendapat pian?

Leave a comment