WALIKOTA BANJARMASIN HARUS SADAR SUNGAI


Oleh: HE. Benyamine

Banjarmasin sebagai kota tua, terus berupaya menata diri, sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari perkembangan kota yang terus berkembang pesat, apalagi kota Banjarmasin telah menjadi kota mitropolitan. Berbagai kegiatan pembangunan untuk memacu perkembangan kemajuan kota terus diupayakan. Dengan julukan “kota seribu sungai”, tentu sungai-sungai tersebut merupakan wajah kota Banjarmasin itu sendiri, yang harus dijaga dan dikelola dengan sungguh-sungguh. Apapun yang terlihat pada sungai-sungai yang ada di Banjarmasin begitulah wajah Banjarmasin. Apakah sungai alami atau sungai buatan (kanal), bila mengalami stres dan muram maka wajah Banjarmasin juga terlihat stres dan muram.

Perlakuan terhadap sungai-sungai (alami maupun buatan) adalah perlakuan terhadap wajah kota Banjarmasin dan kehidupan masyarakat Banjarmasin. Hal ini dapat dilihat saat terjadi hujan, seakan sungai-sungai itu menunjukkan kegelisahannya dengan meluap ke jalan-jalan dan pemukiman masyarakat yang pada masa lalu tidak pernah terjadi; yang pada saat ini baru hujan sebentar sudah menjadikan jalan-jalan seperti sungai dangkal dan sebagian pemukiman lama warga menjadi tergenang. Pemerintah Kota Banjarmasin saja berharap agar tim penilai Adipura tidak datang saat hujan turun, yang seolah tidak ingin diketahui wajah aslinya Banjarmasin.

Kota Banjarmasin dapat dikatakan sebagai suatu wilayah lahan basah (wetlands), yang sangat membutuhkan suatu pendekatan yang sangat khusus dan spesifik, karena sifatnya yang rapuh terhadap sentuhan manusia. Apalagi, Banjarmasin berada 0.16 m di bawah permukaan laut, tentu menjadi alasan tersendiri untuk selalu dipikirkan kembali setiap perubahan terhadap wilayah dan keadaan ekologisnya. Keberadaan sungai sebagai bagian dari lahan basah yang penting dalam fungsi ekologi kota Banjarmasin, juga sangat berhubungan dengan budaya masyarakat, yang jika mengalami perubahan akan sangat berpengaruh pada budaya tersebut. Matinya satu anak sungai yang berarti tertutupnya satu jalur menuju pasar terapung, dengan sendirinya berkurangnya pedagang atau warga yang menghidupkan pasar terapung yang berasal dari sungai yang mati tersebut.

Sungai-sungai di kota Banjarmasin merupakan satu faktor penting dalam menjaga ketahanan lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan suatu sistem, yang dibangun oleh tiga subsistem yang saling berinteraksi (saling mempengaruhi), yakni: (1) Lingkungan sosial (sociosystem), (2) Lingkungan buatan (technosystem), dan (3) Lingkungan alam (ecosystem). Ketahanan masing-masing subsistem ini akan meningkatkan kondisi seimbang dan ketahanan lingkungan hidup sebagai suatu sistem, yang mana kondisi ini akan memberikan jaminan yang seimbang dan berkelanjutan, yang tentunya akan memberikan peningkatan kualitas hidup segala yang ada didalamnya.

Berdasarkan data Dinas Sungai dan Drainase Kota Banjarmasin, pada tahun 2002 sungai terdata berjumlah 107 sungai kemudian berkurang menjadi 74 sungai pada tahun 2004, yang menunjukkan betapa cepatnya pengurangan sungai yang seharusnya menjadi keprihatinan bersama. Program Pemko Banjarmasin dalam upaya mengembalikan fungsi sungai, yang merupakan jalur hijau, cenderung melakukan perubahan pada sungai tersebut yang membuat sungai tambah sempit dan memperlebar jalan; terlihat dari proyek siring sungai. Padahal, pada prinsipnya pemanfaatan lahan di jalur hijau dengan melakukan reklamasi (pengurukan) tidak diperkenankan, seperti sempadan sungai yang dilakukan dengan siring dengan biaya yang sangat besar, tetapi seharusnya meningkatkan fungsi lindungnya dengan melakukan konservasi dan upaya rehabilitasi bagi wilayah penyangga kehidupan yang sudah rusak tersebut.

Disamping itu, menurut Dr. Ir. Karsten bahwa kondisi fisik tanah di Banjarmasin, khususnya bantaran sungai tidak mampu memikul bangunan-bangunan berat (Radar Banjarmasin, 3 Juni 2003). Bahkan ia menyarankan agar bantaran sungai bebas dari bangunan, sesuai dengan survei perencanaan kota Banjarmasin sebagaimana zaman Hindia Belanda. Lebih lanjut, ia menambahkan agar rumah lanting (terapung) dipertahankan untuk menahan dan memecah ombak dari perahu atau kapal bermotor dan hal ini terkait dengan dampak hidrologi dan hidrolika sungai.

Jadi, mengembalikan fungsi sungai merupakan upaya mengembalikan kota Banjarmasin pada keseimbangan secara ekologi dan memberi daya hidup pada budaya masyarakat. Sungai merupakan bagian dari DAS sebagai suatu ekosistem, terutama dipandang dari sudut sistem ekologi, maka adanya kegiatan pembangunan yang merubah sungai juga akan mengganggu sistem ekologis yang sudah ada. Pembangunan yang sangat dipengaruhi oleh faktor manusia dengan sistem sosial dan teknologi yang dikembangkannya, yang memang mempunyai kemampuan untuk merubah keseimbangan ekologi alami kepada keseimbangan baru yang diinginkan, dan berupaya untuk mempertahankannya. Namun, kenyataannya perubahan pada suatu area sering berpengaruh pada area yang lain, seperti yang saat ini berkembang suatu asumsi bahwa reklamasi pada proyek siring sungai yang menyebabkan terjadinya banjir di beberapa jalan.

Dengan demikian, apabila kota Banjarmasin sungguh-sungguh ingin memiliki apa yang disebut dengan water front city tidak berarti harus melakukan reklamasi bantaran sungai, tapi sebenarnya lebih nyata dengan mengembalikan fungsi sungai sebagai penyangga kehidupan. Kota Banjarmasin membutuhkan walikota yang mempunyai pandangan sungai sebagai bagian depan rumah, yang menyadari pentingnya sungai dalam menjaga keseimbangan ekologi dan menopang daya hidup budaya. Oleh karena itu, walikota Banjarmasin harus berbudaya agar mampu melihat dan memandang sungai sebagai bagian penting dari kehidupan masyarakat Banjarmasin. Sadar sungai untuk memahami fungsi sungai sebagai penyangga kehidupan dengan budayanya.

(Radar Banjarmasin, 10 April 2010: 3)

Published by HE. Benyamine

Langit yang sama, bumi yang sama, meskipun berada di sisi kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

One thought on “WALIKOTA BANJARMASIN HARUS SADAR SUNGAI

Leave a reply to adelays Cancel reply