Korban Bernama Kalimantan Selatan (Media Kalimantan, 30 Maret 2014: A5)


HE. Benyamine

Membayangkan Kalimantan Selatan sebagaimana puisi Kalimantan Selatan 2030 Kemudian karya Micky Hidayat (MH) dalam Antologi Sungai Kenangan (ASKS IX, Banjarmasin, 2012, hal. 100 – 101) terasa begitu gamblang ada kemarahan “aku” yang lepas kendali dan harapan.  Kalimantan Selatan mengalami gangguan psikologi yang sangat berat, depresi berat, dan ketiadaan lagi harapan yang tersisa; korban perkosaan brutal dengan kegilaan yang frustasi pada kekerasan dan penguasaan libido tak terkendali.

Di satu sisi, MH masih meminta untuk merenungkan semua perbuatan yang berakibat pada “sesuatu yang tak terbayangkan” akan terjadi kemudian dari segala kegilaan dan kebrutalan tindakan sekarang pada alam Kalimantan Selatan. Renungankanlah! Adakah kesempatan untuk merenungkan tindakan yang dilakukan dengan kegilaan dan kebrutalan? Terpikirkah pemerkosa ketika sedang dalam aksinya! Coba bayangkan apa yang digambarkan MH bagaimana alam ini diperlakukan dalam bait pertama berikut:

Teruslah perkosa aku

senafsu-nafsu syahwat rakusmu

tebas dan cabik-cabik tubuhku

sebirahi-birahi erangmu

cakar dan bongkar isi perutku

sepuas-puas raungmu.

Kalimantan Selatan telah kehilangan hutan sejak beberapa tahun yang lalu, ketika perambahan tak terkendali dan masif dilakukan tanpa dibarangi dengan penanaman kembali, semua diangkut ke luar tanpa menyisakan apa yang dapat dilakukan penduduknya untuk berhadapan dengan perubahan hutan tersebut. Perambahan tanpa pengetahuan, karena dilakukan dengan babat habis dan hanya dihitung keuntungan finansial belaka segelintir orang.

Bagaimana perlakuan yang diminta orang yang telah diperkosa secara brutal dan kegilaan akut, frustasi dan depresi berat akibatnya sehingga tiada lagi pilihan dan harapan hidup menjalani kehidupan di dunia ini, yang digambarkan MH dengan ungkapan pada bait kedua berikut:

Lemparkan jasadku

dari ketinggian jurang menganga

hingga ruhku melayang-layang di udara

melintasi gunung dan samudera tak bernama

menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara.

Kenyataan yang tidak terbayangkan oleh siapa pun, betapa berat hidup dan kehidupan korban perkosaan, hanya membayangkan berada di tempat yang “tak bernama” dan gentayangan di udara yang tak terlihat, meski masih ada keinginan untuk berada dan mengada walau hanya melayang-layang di udara.

Bayangan MH pada kondisi Kalimantan Selatan pada tahun 2030, yang jika dihitung dari sekarang (2014) tinggal 16 tahun lagi, suatu peristiwa yang “tak pernah tercatat dalam sejarah” suatu pembalasan dendam kesumat korban perkosaan. Dendam yang tak mengenal lagi air mata dan belas kasihan, perasaan yang telah membatu dan mengabaikan rahim kehidupan, untuk menuntut balas keadilan yang meniadakan kemanusiaan dan peradaban. Mengapa MH begitu psikopat membayangkan dendam pada bait keempat dan hingga bait ketujuh? Dengan ajakan untuk merenungkan perlakuan dalam eksploitasi terhadap alam dan lingkungan sebagaimana bait ketiga di bawah ini:

Renungkanlah! Sebuah peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam

sejarah kemanusiaan, betapa tragis dan memilukan tahun 2030 nanti,

jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang semena-

mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan yang adil

apalagi beradab terhadap tubuhku.

Di sini MH memposisikan diri dan berpikir sebagaimana sosok yang memperlakukan dengan brutal dan kegilaan terhadap alam lewat kebangkitan sosok yang lebih mengerikan dan tak berhati, hidup tak berjiwa, kembali dengan satu misi; penghancur  tanpa menyisakan debu dan tanda adanya kehancuran. Kuburan yang tiada pernah ditemukan.

Bencana demi bencana alam dan kemanusiaan yang dialami Kalimantan Selatan belakangan ini merupakan tanda-tanda yang telah mulai terjadinya dendam “yang tak terbayangkan”. Musim kering dan musim hujan tiada beda dalam kehendak bencana yang terjadi, sebagai realitas yang mulai dirasakan sebagian besar masyarakat tanpa kecuali, banjir yang meluas dan ketiadaan jalan keluar dalam mengatasi selain menunggu kemarau datang, dan dilanjutkan bencana akibat kemarau; kesulitan air bersih dan kebakaran hutan. Hujan kehilangan anugerahnya, hanya kekhawatiran dan kepasrahan menghadapi berhenti hujan dengan sendirinya.

Alam Kalimantan Selatan terus didera eksploitasi yang masif dan tak terkendali, pembiaran dan pengabaian keseimbangan alam terus berlanjut dengan tak beradab, pertambangan skala besar dan kecil tidak ditopang ilmu pengetahuan dan kerendahan hati serta kebijakasanaan pengambil keputusan, perkebunan besar kelapa sawit penuh hasrat menguasai lahan rawa sebagai lahan basah yang seharusnya dilindungi dan dipertahankan sebagai cadangan keanekaragaman hayati yang kaya dan sumber air untuk kehidupan. Realitas eksploitasi alam Kalimantan Selatan tanpa ilmu pengetahuan ini menjadi bayangan yang mengerikan  dan penuh ancaman bagi MH, sehingga  tanpa sadar tanggapan psikopat yang kehilangan harapan dan peluang lain dari masih adanya terjadi proses yang selalu menuju pada keseimbangan baru.

Dalam hal kecenderungan alam melakukan proses menuju keseimbangan baru, tanpa harus menunggu persetujuan manusia dan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya, karena banyak contoh peradaban yang ditenggelamkan dari muka bumi ini akibat tidak mampunya beradaptasi dengan pilihan keseimbangan baru alam. Bayangan MH masih menganut aliran antroposentrisme dalam etika lingkungan, yang menempatkan manusia sebagai pusat, tanpa membuka pilihan bagaimana alam sendiri yang menentukan apa menjadi bagian dari arah keseimbangan baru yang akan terjadi, hal ini jelas tergambar dalam bait keempat berikut:

Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku: bumi Kalimantan

Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kurendam

sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka

terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan sesirna-

sirnanya. Jangan pernah kalian cari lagi di mana geografi kabupaten

Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara,

Balangan, HuluSungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito

Kuala, kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan

lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan.

Alam bergerak akan menuju pada keseimbangan baru merupakan keniscayaan, karena alam sendiri tidak pernah berada pada titik kritis terus menerus, selalu bergerak melakukan perbaikan dan penyesuaian sebagai bagian dari sistem hidup keseluruhan; dan manusia termasuk bagian di dalamnya. Nampak begitu antroposentris MH menempatkan alam dalam menghancurkan dirinya sendiri, lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan.  Pada tindakan menenggelamkan atau merendam sedalamnya, di sini MH melupakan adanya bentuk baru dari alam, mungkin dulunya daratan lalu berubah lautan sekarang, sebagai bentuk gerakan alam menuju keseimbangan baru, sehingga memungkinkan melakukan tindakan tersebut, bagaimana peradaban Atlantis yang menghilang dari muka bumi misalnya.

Dalam hal apakah MH masih mengingatkan “Jangan pernah kalian cari lagi di mana geografi kabupaten …”, seakan ada yang penting dan berarti hingga membuat ada orang akan datang mencari peta atau artifak kota-kota di Kalimantan Selatan. Peradaban apa di Kalimantan Selatan yang membuat orang akan datang ingin mencari tahu, sebagaimana bayangan pada tingginya peradaban Atlantis, sehingga ada yang dapat dipelajari. Saat ini Kalimantan Selatan hanya tahu bagaimana mengambil sumber daya alam mentah dan menjualnya, selain itu tak terdengar, jadi seandainya tenggelam mungkin tidak ada yang mencarinya juga. Sudah ditenggelamkan yang berarti tak perlu lagi dikatakan bait selanjutnya (bait kelima dan bait keenam), tiada guna lagi bagi yang telah tenggelam. Berikut bait-bait tersebut.

Terimalah gelagak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran

atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia

memperlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini. Segalanya

kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan!

 

Jangan kalian cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-

gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap kutenggelamkan.

Tiada guna lagi kalian cari kapal Nuh penyelamat nyawamu. Jangan

kalian cari lagi rahim kehidupan, sebab kehidupan telah tiada.

Pada bait ketujuh sebagai bait penutup, sebagai sebab-akibat dari tindakan brutal dan kegilaan yang kejam, MH tidak mampu menempatkan proporsi Kalimantan Selatan sebagai bagian kecil dari alam semesta, bahkan untuk pulau Kalimantan  dengan menyatakan “bukan sekadar kiamat qubra” yang lebih pada kehancuran keseluruhan alam semesta. Dengan Kalimantan Selatan ditenggelamkan, maka akibat dari perbuatan segelintir orang yang melakukan eksploitasi secara masif sumber daya alam juga dialami semua manusia Kalimantan Selatan. Semua menanggung dosa sebagian orang. MH mengabarkan akibatnya, “Maka terimalah karmaku – ini bukan sekadar kiamat qubra, tapi/sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosa kalian sebagai manusia.” Dalam beberapa hal, gangguan terhadap alam oleh sebagian orang akan berakibat bagi semua orang, misalnya kerusakan hutan atau hutan rawa, yang dapat dirasakan semua orang akibatnya, tapi tidak semua gangguan pada alam akan berakibat pada semua orang di Kalimantan Selatan.

Dengan kemarahan dan dendam batin yang tak tahu harus diungkapkan dengan siapa dan bagaimana, MH sebagai penyair mengungkapkan “ketidakberdayaan” sebagaimana puisi ini, sehingga terlihat pilihan diksi yang lemah dan sosok “aku” yang mencampur halusinasi dan realitas.  Sosok “aku” berwajah tunggal — angkara murka, melupakan kasih alam pada dirinya sendiri yang terus menuju pada keseimbangan, yang bergerak mencapai keteraturan, dan menjaga keberlanjutan hidup untuk semua.

Menurut pandangan yang yakin dengan berkah ilmu pengetahuan, keseimbangan alam paralel dengan perkembangan ilmu pengetahuan, di sini MH tidak melihat adanya tabiat alam yang secara tidak langsung memberi spirit kepada manusia untuk menjadi bagian dari keseluruhan gerak alam mencapai keseimbangannya. “Aku” dengan dendam kesumat yang kehilangan harapan sekaligus kehilangan akal sehat, seakan terbentur pada pilihan tunggal untuk hancur bersama, yang meniadakan ada sebagian orang yang melakukan perlawanan terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan yang terjadi. Peradaban demi peradaban silih berganti menjadi bagian dari alam dan kehidupannya, yang sebagiannya runtuh karena kerusakan lingkungan hidup dan ketertinggalan perkembangan ilmu pengetahuan dari gerak alam mencapai keseimbangannya.

Pandangan ke depan MH terhadap pengerukan sumberdaya alam Kalimantan Selatan yang mengabaikan akal sehat, sebagai peringatan tentu saja mempunyai bunyi yang menggoncang dada meski dengan ungkapan “aku” psikopat yang mengungkapkan dengan bahasa apa yang dirasakan layaknya orang mengalami kekerasan dan kekejaman yang brutal dan sadis. Sebagai penyair, MH yang sejak tahun 1978 sudah aktif menulis ini, mengungkapkan kepedulian dan kekhawatirannya pada bencana demi bencana yang melanda Kalimantan Selatan karena memperlakukan alam dan lingkungan tanpa akal sehat yang ditopang penguasa daerah yang tanpa visi.

Melalui puisi ini, MH kelahiran Banjarmasin pada 4 Mei 1959 ini, melepaskan beban batinnya yang lebih dulu luluh lantak dan tenggelam karena menyaksikan kerusakan alam yang sungguh memprihatinkan; hutan habis, batubaru tak lama lagi habis, dan rawa-rawa tinggal namanya. Setidaknya, MH yang memegang rekor MURI pembaca puisi 5,5 jam non-stop, telah melakukan perlawanan yang provokatif.

Perlawanan yang bagaimana pun pada kekejaman dan tindakan tanpa akal sehat terhadap kemanusiaan dan alam, akan memberi makna dan arti yang penting bahwa masih ada yang menggunakan akal sehat dan berhati luhur. Jika menghitung waktu puisi MH ini, maka 2030 kemudian hanya halusinasi  “aku” yang mengalami kekerasan psikologis saja. Namun, MH telah meloncat ke depan melalui puisi ini dengan menitipkan pertanyaan apakah Kalimantan Selatan akan terus menjadi korban dan pasrah?

 

Banjarbaru, 29 Maret 2014

Published by HE. Benyamine

Langit yang sama, bumi yang sama, meskipun berada di sisi kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Leave a comment