NOVEL “GALUH HATI” KONSTRUKSI KEMANUSIAAN BANJAR


Oleh: HE. Benyamine

Novel Galuh Hati (GH) menggambarkan bahwa pendulangan intan Cempaka tak lebih dari lokasinya skandal cinta dan tempat kerja orang-orang yang bernasib buruk belaka. Dalam hal estetika, GH lebih baik dari karya sebelumnya yang bercerita tentang pendulangan Cempaka, baik bentuk cerpen maupun novel. Hal ini dikemukakan Tajuddin Noor Ganie (TNG) yang menjadi pengantar diskusi pada Diskusi Sastra Malam Sabtu (21/3/14) di Auditorium Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan.

Image
Foto: Rini Ganefa (Koleksi pribadi RG), Semarang

Novel Galu Hati – Tiga Cinta dan Satu Rahasia (Moka Media, 2014) karya Randu, berdasarkan cuplikan  pada bagian cover belakang bukunya, “Aku memiliki rahasia. Kau memiliki rahasia. Bahkan langit pun memiliki rahasia. Kau tahu Senja Kuning di langit Cempaka sore itu? Dia menyimpan rahasia tentangku, tentang sebuah Galuh Hati. Aku adalah satu-satunya riwayat tua yang diperbincangkan di rumah para pendulang intan di Cempaka. Kekuatan dan keindahanku selalu menjadi teka-teki yang diturunkan hingga ke anak-cucu mereka. Namun, tahukah kau bahwa di balik gemerlap cahaya yang aku pancarkan ada rahasia tentang persahabatan, cinta, dan sebuah pengkhianatan?”

Novel ini bercerita tentang persahabatan Abdul, Gil, dan Anang, yang menjadi garis merah cerita. Abul dan Gil berusaha mencari kejelasan dan keberadaan Galuh Hati (intan) yang selama ini tidak ada yang mengungkap, dan seperti merupakan misteri yang tak tersentuh, hingga antara mitos atau pernah nyata ada yang kemudian menghilang. Pencarian Galuh Hati membawa mereka menemukan sosok Sarah yang menjadi saksi hidup tentang kejadian masa lalu antara Kai Amak, Antas, dan Sarah sendiri.

Menurut TNG bahwa novel ini biasa saja dalam hal cerita, sebagaimana yang dikatakannya, “Skandal cinta memang merupakan tema utama yang menggerakkan para tokoh dalam alur yang relative padat dan banyak memberi peluang kepada para pembacanya untuk menggunakan kemampuannya dalam hal berimajinasi. Skandal cinta dimaksud dilakoni oleh (Kai) Amak, Antas, dan Sarah. Amak dan Antas pada mulanya adalah dua orang pemuda yang saling bersahabat karib satu sama lainnya. Saling mendukung dalam suasana senang atau bahagia, suasana sedih atau berduka. Sarantang saruntung, samuak saliur, salapik sakaguringan, dan sabantal sakalang halu.”

Konflik persahabatan terjadi setelah keduanya jatuh cinta kepada Sarah, kata TNG, “Namun, karena keduanya jatuh cinta pada wanita idaman yang sama, maka persahabatan di antara keduanya mulai goyah. Kegoyahan terutama sekali terjadi dalam diri Amak. Khawatir hidupnya akan menderita seumur hidup karena melihat kebahagian Antas dan Sarah, maka Amak kemudian melakukan penghilangan paksa atas Antas. Aku tidak menggunakan kata pembunuhan, karena sejatinya Antas tidak tewas dibunuh Amak, tetapi setelah kasus tindakan kekerasan Amak terhadapnya, Antas bersedia menghilangkan diri (lihat: Epilog, halaman 291).

Novel GH menurut Sainul Hermawan (SH) merupakan novel luar biasa, sehingga tak layak direduksi hanya tentang persoalan intan, karena novel ini tentang kemanusiaan, khususnya kemanusiaan dalam kebudayaan Banjar. Novel ini identik dengan kelokalan dalam hal ini menyangkut kebanjaran, karena pendulangan intan Cempaka merupakan sesuatu yang khas Banjar. TNG sepakat tentang kelokalan atau kebanjaran. Bagi SH, novel ini ingin mengkonstruksi kebudayaan Banjar, dan Randu sebagai penulis melakukan proses ketidaksadaran dalam membuat karya sastra sebagaimana lazimnya sebuah karya sastra dengan meminjam bahasa orang lain untuk menciptakan wacana tentang orang Banjar. Ada oposisi biner yang diciptakan Randu, seperti penokohan orang Jakarta yang pintar, kaya, dan maju sedangkan orang Banjar (Cempaka) yang bodoh, miskin, dan terkebelakang. Di sini terlihat adanya representasi orang Banjar dalam novel GH, yang tentu saja tidak singular tetapi plural dalam konstrusi identitas, seperti apa yang dilakukan Sarah dengan madam. Lebih lanjut SH menyatakan bahwa melalui novel ini, Randu ingin menciptakan monumen keberaksaraan yang tentu saja berbeda dengan yang dilakukan pemerintah daerah membangun tugu sebagai monumen kelisanan.

Sebelumnya, Randu sebagai penulis novel ini mengatakan bahwa GH ini merupakan idealisme untuk sumbangsih pada daerah yang menjadi bagian dari hidupnya sekarang ini dan seterusnya. Menurut Randu, pada beberapa acara launching novel ini di Jakarta dan Depok, mereka terkesan dari sisi unsur informasinya tentang pendulangan intan, yang ternyata penuh dengan tragedi dalam pendulangan intan. Pada acara diskusi di Depok, ada peserta yang mengatakan bahwa GH tidak berbeda dengan Laskar Pelangi, tetapi dalam hal kesakralan jelas menjadi kelebihan GH, yang mengarahkan pada pertanyaan apakah intan yang membuat sakral dalam berbuat atau masyarakat Banjar yang menjadikan intan sebagai proses yang sakral dalam kehidupan pendulangan intan.

Pada kesempatan Abd. Muda Sagala berbicara yang melihat pendulangan intan Cempaka dari cara pandang fotografi, bahwa masyarakat yang menjadi objek foto nampak tersenyum sebagai momen bahagia, jadi mengatakan masyarakat pendulangan intan terjebak kemiskinan dan ketidakbahagiaan menjadi tak sesuai dari kaca mata fotografer, karena keduanya pernah terekam dalam lensa, baik kebahagiaan dan kesedihan sebagaimana di tempat lainnya. Di samping itu, pemerintah daerah lebih menganggap pendulangan intan sebagai tempat pariwisata yang berarti bukan izin pertambangan. Hal ini bagi Randu menjadi pertanyaan bahwa sejak kapan aktivitas merusak lingkungan, seperti Cempaka, dijadikan objek pariwisata? Karena cukup aneh memasarkan objek pariwisata adalah merusak lingkungan. Kerusakan lingkungan ini juga menjadi keprihatinan Nazwa Misran (Amuntai), yang terkadang orang melihat kehidupan pada kampung tertentu sebagai merusak lingkungan dan miskin, padahal mereka hidup dengan kebahagiaan dan kesedihan yang sama dengan masyarakat lainnya, sekalipun strata atas, begitulah adanya seperti Paminggir yang hidup di rawa, Amuntai.

Sedangkan Bambang Eka Prasetya (Magelang) mengapresiasi novel ini ditulis oleh Randu yang bukan kelahiran Banjar, karena yang penting adalah berkarya di mana tempat tinggal sekarang. Bagi Bambang bahwa Cempaka mempunyai nilai imajiner dalam ingatannya, meski sarat dengan kontradiksi, kemilau intan dan kemiskinan, namun warga Cempaka terus menjalani hidup dengan berjuang yang memang begitulah hidup meski dianggap tak memberi kehidupan yang beruntung. Cempaka, dalam ingatan Bambang adalah intan dan Soekarno. Karena belum membaca novelnya, Bambang Eka Prasetya hanya turut melakukan perjalanan imajiner tentang intan.

Mengingat pengalaman tentang intan, Harie Insani Putra, kembali pada tahun 1990-an ketika tinggal di wilayah Karamunting, di mana penyebaran intan banyak sekali hingga pernah terjadi seseorang saat menyapu halaman menemukan intan (masih batu yang belum diolah), sehingga hari berikutnya warga rame-rame menyapu halaman, siapa tahu juga mendapatkan intan, namun selanjutnya tidak pernah terdengar lagi, hingga Karamunting sekarang sudah menjadi perumahan dan tempat hunian yang padat. Dalam hal Cempaka sebagai tujuan wisata, Harie sering mengajak tamunya ke tempat pendulangan tersebut, tetapi dengan penggambaran seperti kebun binatang yang mana orang datang lalu foto-foto dan makan wadai 41 kemudian berlalu saja. Jadi melalui GH, bagi Harie akan lebih tergambar bagaimana Cempaka lebih kaya dibandingkan hanya penanda tugu dan label tempat pariwisata bagi Cempaka.

Menanggapi tentang jalan keluar yang dipilih Sarah dengan madam, TNG yang sebelumnya melihat tawaran Randu secara implisit dalam novelnya adalah melalui sekolah, menambahkan madam tersebut sebagai jalan keluar dari nasib buruk jika tetap berada di Cempaka sebagai pendulang.  Orang Cempaka mendapatkan intan, tetapi selanjutnya tak berapa lama langsung dibawa ke Jakarta, seperti Intan Trisakti. Di samping itu, dalam ada hal yang menarik, seperti istilah intan bom, yang bertujuan untuk meramaikan suatu lokasi, karena orang akan berbondong-bondong mendulang juga di sekitar lokasi penemuan intan yang sebenarnya hanya rekayasa.

Mengenai orang-orang yang bernasib buruk dalam novel GH, menurut TNG, “Suatu hal yang sebenarnya sangat ironis karena nun di bawah tanah yang mereka pijak ditemukan banyak sekali butiran intan yang bernilai jual tinggi . Namun, kekayaan alam yang melimpah ruah itu sama sekali tidak mampu membuat mereka hidup makmur sebagaimana mestinya.”  Namun, perlu dilihat kembali tentang gambaran nasib buruk tersebut, karena coba lihat rumah warga Cempaka, berapa banyak warga naik haji/umrah, dan masjid-masjid yang ada di sana.

Pengalaman mendulang intan, Sandi Firly pernah melihat ada sesuatu yang berkilau di kuburan pahlawan di kampung, Kalteng, yang dikira kilauan intan setelah didekati ternyata hanya pantulan dari kaleng bekas. Sandi menceritakan sebuah kisah bahwa ada seorang yang apabila menangis air matanya menjadi intan, untuk terus mendapatkan intan maka orang tersebut harus dibuat menangis dengan cerita sedih, dan pada suatu saat kehabisan cerita sedih, lalu terpikir mencoba dengan mengiris bawang merah. Menanggapi SH tentang terlalu cerdasnya tokoh Abul, dengan narasi dalam novel, Sandi menjelaskan bahwa Abul saat bercerita ketika ia sudah menjadi guru, bukan pada usia 12 tahun.

Sementara SH menanggapi tentang GH yang disamakan dengan novel Laskar Pelangi, bagi SH, novel GH lebih baik dari Laskar Pelangi yang plot tidak jelas dan tokoh-tokoh juga tak jelas, sedangkan GH bagaimana keinginan Gil yang jelas untuk menemukan sebuah rahasia, yang menandakan adanya perjuangan tokoh. Novel GH, menurut SH menggambarkan orang Banjar sebagai tindak wacana, bagaimana orang Banjar juga melakukan konspirasi kejahatan yang dikuasai kekuasaan. Mengutip pernyataan Faruk bahwa orang Banjar jika ingin maju harus melakukan transformasi ke budaya keberaksaraan, tetapi Randu melalui GH melakukan sebaliknya, dan menggambarkan bahwa tokoh Amak sebagai orang keberaksaraan diposisikan jahat, sedangkan Antas sebagai orang kelisanan diposisikan baik dan jujur, seakan orang beraksara (termasuk lingkaran kekuasaan) adalah jahat, dan orang lisan adalah jujur dan baik.

Mengenai pendulangan intan tradisional, Drs. Ikhlan Budi Prayogo, MHum. (Kasi Edukasi Preparasi Museum Lambung Mangkurat) mengemukakan bahwa tahun 1995-an masih banyak yang tradisional, para pendulang sangat mengikuti pamale-pamale sehingga para pendulang seperti diarahkan untuk berpikir positif sebagai bentuk adanya pengharapan. Jika melihat ulat, maka para pendulang menyebutnya akar, misalnya. Menurut Randu hal ini tergambar pada tokoh Antas yang berpikiran positif dan jujur, sebagai bagian dari mitos dan pamale tersebut. Bagi TNG bahwa pamale dan mitos berkembang di pendulangan intan, seperti adanya seorang yang disebut sebagai malim yang mempunyai kemampuan menunjukan di mana/daerah yang ada intannya, hal ini secara psikologi merupakan tanggapan pada sulitnya menemukan intan.

Menanggapi SH yang menyatakan GH lebih dari Laskar Pelangi, Randu menceritakan tanggapan editor ketika melihat naskah GH dengan menyatakan lebih hebat dari Laskar Pelangi, karena tokoh Abul tidak silau dengan dunia Barat dibandingkan dengan tokoh Ical yang sangat Barat oriented. Abul tidak berangkat ke Belanda, dan memberikan kesepatan pada tokoh lainnya yang menerima beasiswa dari Sarah. Randu menekankan bahwa novel ini mengangkat tentang pendidikan, orang bisa saja miskin, tapi tidak harus tetap didapatkan bagaimana pun caranya. Dalam cara penulisan, Randu sengaja membuat pembaca untuk terlibat secara imajinatif untuk menyambungkan cerita.

Sebelumnya TNG menyatakan bahwa novel GH masih banyak hal tidak logis dan terjadi putus-putus, selain beberapa keanehan, sehingga alur cerita terlihat terbuka, yang memungkinkan para pembaca berimajinasi sendiri. Di samping itu, ada beberapa yang perlu diperhatikan seperti waktu dalam novel, “Jika mengikuti data yang tertera pada suratnya, Sarah lahir 73 tahun yang lalu, yakni tahun 1940. Ini berarti ketika ia menjalin cinta dengan Antas pada tahun 1947, usianya baru 7 tahun.” Begitu juga tentang rekayasa kematian Kai Amak yang tidak biasa terjadi di Cempaka, kalau orang langsung dikubur dengan peti. Lalu, cerita tentang kesaksian Sarah, lebih baik dilakukan oleh tokoh Sarah sendiri bukan melalui imajinasi Abul.

Kembali SH mengemukakan bahwa dalam membaca sebuah novel tidak hanya melihat atau mereduksi pada cerita, seperti novel GH yang direduksi pada cerita pendulangan intan, padahal sebenarnya dapat menemukan abstraksi dari sebuah novel dalam konstruksi identitas, yang dapat digambarkan secara denotasi novel GH bicara tentang pendidikan, sedangkan konotasi dapat mengarah pada konstruksi identitas orang Banjar. Novel GH merupakan novel bagus, bagi SH dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, jadi tentu sangat dinantikan adanya pembahasan dari segi antropoligi, sosiologi, psikologi, atau bidang lainnya sehingga dapat melihat bagaimana perjuangan seorang anak manusia sebagai tokoh dalam novel, dan memang multitafsir. Dalam novel GH ini, orang Banjar bisa jadi Sarah, Amak, Antas, Nizam, atau yang lain, kecuali Gil. Namun, GH tidak cocok untuk bacaan anak-anak karena adanya tokoh yang merokok dan terjadinya pembunuhan/bunuh diri. Sementara, Randu menyatakan GH untuk segala umur, tentang merokok itu hanya penggambaran realitas di Cempaka dan selanjutnya juga tokohnya tidak merokok.

Mengenai pembatasan dalam tokoh, seperti tidak boleh merokok untuk genre tertentu, menurut Sandi Firly apakah tidak membatasi penokohan itu sendiri, karena apa yang dibebankan kepada tokoh sebagai bagian dari memperkuat karakter tokoh yang bersangkutan. Hal ini, menjadi pertanyaan bagi Randu, bahwa iklan rokok berhamburan di ruang publik yang dapat dilihat semua anak-anak, sementara di dalam novel hanya sekilas saja tokohnya merokok, mana yang lebih berpengaruh dan intensitas dilihat anak-anak. SH menekan untuk menyesuaikan dengan pilihan kategori pembaca, dalam hal rokok, seharusnya dihindarkan dari bacaan anak-anak, jadi sesuai dengan jenis pembaca.

Akhirnya, TNG  mengajak untuk menemukan Antas, “karena sejatinya Antas tidak tewas dibunuh Amak, tetapi setelah kasus tindakan kekerasan Amak terhadapnya, Antas bersedia menghilangkan diri (lihat: Epilog, halaman 291).” Juga ada beberapa saran TNG, yaitu (1) istilah pendulang intan sebaiknya tetap dipertahankan jangan diganti dengan penambang intan, atau penambang galuh dan gabungan kata lain yang sejenisnya, (2) kata ganti pian sebaiknya dipasangkan dengan kata ganti ulun, (3) istilah galuh dalam pengertian intan sebaiknya digunakan sebatas dalam dialog yang terjadi di lokasi pendulangan intan saja, dialog di luar lokasi pendulangan intan, lebih-lebih dalam paparan (narasi) sebaiknya menggunakan istilah intan, dan (4) kosa kata bahasa Banjar padu dihalaman 19, harus diberi catatan kaki (dapur).

Diskusi ini terlaksana atas fasilitas Museum Lambung Mangkurat Provinsi Kalimantan Selatan, nampak hadir Moh. Mahfud dan Syarif (Mahasiswa IAIN Antasari), Dahlia, Ahmad Dani, Yulian Manan, Ananda Perdana, Dian Arlika, Ocha, Wahyu Irphani, Alfiannoor, Winda Noor Amalia, dan lainnya. Terima kasih kepada donatur pak Ikhlas Budi Prayogo dan kudapan dari Agustina Thamrin.

Banjarbaru, 22 Maret 2014

(Media Kalimantan, 23 Maret 2014: A4)

Published by HE. Benyamine

Langit yang sama, bumi yang sama, meskipun berada di sisi kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

One thought on “NOVEL “GALUH HATI” KONSTRUKSI KEMANUSIAAN BANJAR

Leave a comment