SUMBANGAN PIHAK KETIGA MENTALITAS PENGEMIS


Oleh: HE. Benyamine

Bagai kasalukutan, kepala daerah di Kalimantan Selatan yang di wilayahnya beroperasi pertambangan, karena terbitnya Surat Edaran Dirjen Minerba Kementerian ESDM tentang pelarangan penerimaan sumbangan pihak ketiga (SPK) dan penerbit SKAB sektor pertambangan. Kepala daerah yang seperti ini patut dipertanyakan bagaimana mereka memimpin dan menggerakkan daerahnya untuk kemajuan dan pencapaian kesejahteraan, bagaimana tidak, yang mereka ributkan ternyata yang berhubungan dengan sumbangan.

Bagaimana harga diri dan martabat daerah dipimpin oleh orang yang seolah-olah begitu berharap dengan sumbangan atau belas kasihan, sementara mereka merupakan pemegang kendali daerah dalam mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan dan keadilan. Terlalu naif untuk sejahtera dan berkeadilan, jika begitu terganggu dengan urusan sumbangan atau belas kasihan dari pihak lain.

Hal ini menjadi terlihat sangat serius, bahwa sumbangan tersebut sangat berharga dan bernilai, dengan munculnya ancaman dari 2 (dua) bupati untuk menutup tambang yang beroperasi di wilayahnya masing-masing, jika (hanya) dilarang menerima sumbangan pihak ketiga (SPK) dan penerbitan SKAB sektor pertambangan.  Di samping itu, ancaman kedua bupati ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa ternyata daerah yang mereka pimpin sebenarnya tidak mendapatkan yang sebanding atas eksploitasi sumberdaya alam bidang tambang batubara dibandingkan dengan kerusakan lingkungan dan sosial yang harus ditanggung daerah. Ancaman penutupan tambang tersebut, meski sangat reaktif, menjelaskan bahwa tanpa tambang daerah tak akan terganggu dan dapat berjalan sebagaimana biasanya.

Sikap kedua bupati yang akan menutup tambang, juga sikap bupati yang sekedar protes, secara langsung juga menampakkan sikap atas fenomena pertambangan yang tidak terganggu dengan berbagai persoalan lingkungan hidup dan sosial ekonomi budaya, kecuali yang berhubungan dengan urusan sumbangan tersebut. Karena, hampir tidak terdengar sikap yang setara terhadap persoalan lingkungan hidup itu sendiri, bagaimana reklamasi yang tak dihiraukan perusahaan atau pencemaran yang disebarkan sporadis atau berbagai akibat kesehatan masyarakat yang terganggu secara langsung maupun tidak langsung atau segera maupun dalam jangka panjang, seakan kepala daerah sangat terganggu hanya urusan sumbangan dibandingkan apa dan bagaimana pertambangan tersebut beroperasi di daerahnya.

Adakah pernah terdengar, kepala daerah menutup tambang yang tak melaksanakan reklamasi atau menyebarkan pencemaran ke badan-badan sungai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat? Urusan sumbangan atau belas kasihan yang terdengar begitu lantang dan keras, tanpa lagi berpikir bagaimana jalan lain untuk mendapatkan keadilan eksploitasi pertambangan bagi daerah yang bersangkutan. Atau, selama ini, karena terikat dengan sumbangan atau belas kasihan tersebut, membuat kepala daerah tak hirau dengan permasalahan pertambangan selain hitungan pemasukan uang yang meski hanya teramat sedikit tersebut.

Dengan produksi batubara sebanyak 4 juta ton per tahun, kabupaten Banjar, mendapatkan sumbangan pihak ketiga sebesar Rp.24 miliar per tahun, bagaimana alasan yang tepat untuk menjelaskan sikap bupati Banjar Khairul Saleh untuk menutup tambang yang beroperasi di wilayahnya (Radar Banjarmasin, 22 Maret 2012; 9) hanya karena dilarangnya sumbangan tersebut. Sebenarnya,  alasan yang dapat dijelaskan adalah yang dikemukannya bahwa kontribusi sektor tambang bagi penerimaan daerah sangat kecil tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat, bukan karena hanya sumbangan atau belas kasihat tersebut. Apalagi royalti yang diterima kabupaten Banjar dari produksi tersebut hanya sebesar 3,5 persen, jelas menunjukkan bahwa kabupaten Banjar lebih tepat menutup seluruh tambang batubara.

Begitu juga dengan kabupaten Tapin, yang ternyata APBD Tapin bergantung dengan sumbangan atau belas kasihan tersebut, sebagaimana dikemukakan bupati Tapin Idis Nurdin Halidi bahwa bila sumbangan pihak ketiga dihilangkan maka setara dengan menghilangkan 25 persen APBD (RB, 22/3/12), yang pada tahun 2011 penerimaan kabupaten Tapin dari sumbangan mencapai Rp.157 miliar (versi Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Anggaran, dan Kas Daerah Kabupaten Tapin H Samsi, tahun 2011 sebesar Rp46.279.562.969 – RB, 21/3/12). Data ini memberikan gambaran bagaimana APBD Tapin disusun dan dilaksanakan, yang secara tidak langsung menyandera sikap pemerintah daerah terhadap permasalahan pertambangan yang ada di kabupaten Tapin.

Hal ini juga terjadi di kabupaten Tanah Bumbu dan Tanah Laut, ternyata kepala daerah lebih memilih sebagai pengemis di wilayahnya sendiri dibandingkan menjadi tuan, karena meskipun aturan tentang sumbangan pihak ketiga tersebut absah tetapi tidak seharusnya menjadikan daerah-daerah tersebut begitu kebakaran jenggot saat sumbangan tersebut dilarang.

Apakah pemerintah daerah sudah tenang dengan sumbangan pihak ketiga tersebut, berjalan seperti tidak ada masalah lain dengan adanya eksploitasi pertambangan. Dari sekian kepala daerah yang wilayahnya beroperasi pertambangan, meski ikut protes, kabupaten Balangan ternyata tidak menerima sumbangan pihak ketiga, bupati Safek Effendi lebih condong meminta dana royalti tambang ditingkatkan (22/3/12), yang ternyata tidak semua daerah terikat dengan sumbangan pihak ketiga. Di samping itu, dengan ketergantungan dan mentalitas pengemis, dapat dikatakan tidak ada kepala daerah yang punya keberanian menutup tambang di daerahnya masing-masing.

Jadi, kesadaran tentang kontribusi sektor tambang bagi penerimaan daerah sangat kecil jika dibandingkan dampak kerusakan lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat serta bencana yang dihadapi daerah saat sekarang maupun yang akan datang, sebenarnya sangat beralasan untuk menutup tambang-tambang tersebut, tetapi bukan karena sumbangan pihak ketiga yang sesungguhnya lebih merendahkan daerah karena ketergantungan sebagian program pemerintah daerah dari hal demikian.

Saatnya daerah berpikir lebih rasional, tidak sangat begitu terganggu dengan persoalan sumbangan yang menjadikan daerah bagai pengemis di tanahnya sendiri, kecuali kita tidak mau berpikir dan bekerja keras, apalagi hal itu sangat jelas ketidakadilan dan buah bencananya, maka penutupan tambang atau berhenti sampai menemukan formula yang bermartabat bagi daerah. Jangan sampai sikap atas larangan sumbangan pihak ketiga, lebih memperlihatkan sikap dan mentalitas pengemis.

(SKH Radar Banjarmasin, 24 Maret 2012: 3)

Published by HE. Benyamine

Langit yang sama, bumi yang sama, meskipun berada di sisi kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

Leave a comment